Powered By Blogger

Jumat, 03 September 2010

ulum

Bentuk-Bentuk Kesalahan Ketika Membaca Al-Qur'an 

Ditulis oleh Abu Farha Qasim Ata, S.Pd.I.
Muqaddimah
Segala puji milik Allah yang telah menjadikan bacaan al-Qur'an sebagai sarana beribadah dan peneguhan iman seorang hamba. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad shallahu 'alaihi wasallam. Waba'ad.

Latar belakang tulisan ini kita bahas karena rasa keprihatinan atas realita kaum muslimin yang terjatuh dalam kesalahan membaca al-Qur'an, terkhusus lagi adalah mereka-mereka yang telah Allah tuntun untuk mengenal manhaj yang lurus yaitu manhaj ahlussunnah waljama'ah. Tentunya kita sangat bersyukur kepada Allah atas bersemangatnya generasi muda kaum muslimin untuk kembali kepada Islam yang benar sesuai pemahaman para salaful ummah, namun sebagai individu yang kelak mendakwahkan dan mentarbiyah ummat ternyata masih banyak yang salah dalam membaca al-Qur'an. Hal ini sangat terlihat ketika kita mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur'an yang mereka baca terutama dalam shalat, masih terdapat kesalahan-kesalahan yang terkadang tidak dapat ditolerir.

Padahal perintah untuk membaguskan bacaan al-Qur'an adalah wajib hukumnya sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ...............
“Orang-orang yang telah kami (Allah) beri mereka al-kitab (al-Qur'an) lalu mereka membacanya dengan bacaan yang sebenar-benarnya….” (QS. al-Baqarah [2]: 121)
Berkata syaikh Muhammad Thalhah Bilal Manyar, tentang "haqqa tilaawatih" yaitu:
"membacanya secara tartil dan sesuai tajwid sebagaimana yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallahu 'alaihi wasallam" (Muqaddimah Ahkamu Qira'atil Qur'anil Karim, hal. 10)
وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا..............
“Dan bacalah al-Qur'an secara tartil……(QS. al-Muzammil [37]: 4)
Shahabat 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menjelaskan makna tartil dalam ayat ini, yaitu: mentajwidkan (membaguskan bacaan) sesuai huruf-hurufnya dan mengetahui tempat-tempat waqaf (berhentinya).
Walaupun perkataan ini dikomentari oleh syaikh Mahmud Khalil al-Hushari al-Qari', bahwa beliau belum mendapati sanad secara pasti. (lihat di catatan kaki buku beliau, Ahkamu Qira'atil Qur'anil Karim, hal. 28).
Tentunya tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik, saran dan masukan tentu sangat kami harapkan guna melengkapi tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Kami memohon kepada Allah semoga tulisan ini sebagai pemberat timbangan kebaikan pada hari penghisaban kelak. Amiin.
A. Makna dan pembagian kesalahan
Para ulama tajwid secara umum telah mengistilahkan kesalahan dengan istilah "al-lahn" yang terdiri dari dua macam, yang tujuannya agar kita dapat menjadikannya sebagai ukuran untuk menggolongkan bentuk-bentuk kesalahan yang terjadi pada bacaan al-Qur'an masing-masing kita. Sebagaimana yang disebutkan oleh syaikh Mahmud Khalil al-Hushari al-Qari' dalam kitabnya Ahkamu Qira'atil Qur'anil Karim, hal. 34-35,
1. al-lahnul jali, adalah kesalahan pada bacaan lafadz-lafadz al-Qur'an yang menyalahi kaidah tajwid, bahasa Arab khususnya i'rab (perubahan harakat akhir), baik yang dapat mengubah arti atau tidak. Melakukan kesalahan ini dengan sengaja hukumnya haram. Seperti ('ain "ع" dibaca hamzah "ء", atau mengubah harakat)
contoh:
رَبِّ الْعَالَمِينَ ← رَبِّ الْآلَمِينَ
أَنْعَمْتَ ← أَنَعَمْتَ
Catatan: kata yang digarisbawahi adalah bentuk kesalahan dari bacaan yang benar.
2. al-lahnul khafi, adalah kesalahan bacaan lafadz-lafadz al-Qur'an yang menyalahi sebagian kaidah tajwid namun tidak menyalahi kaidah bahasa Arab, juga tidak mengubah harakat dan tidak pula mengubah arti, seperti kesalahan pada bacaan idzhar, ikhfa', iqlab, dan idgham. Melakukan kesalahan ini dengan sengaja hukumnya makruh.
A. Bentuk-bentuk kesalahan
Secara umum bentuk-bentuk kesalahan dapat diklasifikasikan dalam empat bentuk, yang dalam tulisan ini kita mencoba untuk merincikannya dan mengolongkan dalam dua kaidah kesalahan di atas,
a. Kesalahan pada makharijul huruf. Melakukan kesalahan dalam melafalkan huruf-huruf hijaiyah, seperti 'ain "ع" dibaca hamzah "ء" atau sebaliknya, demikian juga huruf-huruf yang lain. Kesalahan pada makharijul huruf ini tergolong dalam al-lahnul jali yang haram hukumnya bila disengaja dan terus-menerus dalam kesalahan yang sama. Maka perhatikanlah wahai para ikhwah maupun akhwat dan khususnya para imam-imam masjid! Sebagai contoh:
رَبِّ الْعَالَمِينَ ← رَبِّ الْآلَمِينَ
Catatan: bentuk kesalahannya adalah adanya perubahan bacaan pada huruf "ع" menjadi huruf "ء". Termasuk di sini adalah huruf bertasydid, contoh "rabbi" dibaca "rabi".
b. Kesalahan pada nada dengung (ghunnah) yang terdiri dari idzhar (halqi maupun syafawi), idgham, ikhfa' (haqiqi maupun syafawi), dan iqlab. Bentuk kesalahannya adalah tidak konsisten dalam mendengungkan atau yang idzhar dibaca dengung. Contoh: Pertama. idzhar halqi. (من آمن) nun mati bertemu hamzah, sedangkan idzhar syafawi. (الحمد) mim mati bertemu dal. Bentuk kesalahannya karena didengungkan atau ditahan ketika membacanya. Kedua. Idgham secara umum selain bilaghunnah, (من يعمل) nun mati bertemu ya. Bentuk kesalahannya adalah kurang ditahan atau terburu ketika membacanya. Ketiga. ikhfa' haqiqi. (أأنتم) nun mati bertemu ta, adapun ikhfa' syafawi. (ترميهم بحجارة ) mim mati ketemu ba'. Bentuk kesalahannya adalah kurang ditahan atau terburu ketika membacanya atau mengubah bacaan nun mati dengan bacaan "ng" dan mim mati dibaca idzhar. Keempat, Iqlab, (من بعد) nun mati bertemu ba'. Bentuk kesalahannya adalah kurang ditahan atau terburu ketika membacanya atau menggantikan bacaan nun mati langsung dengan ba'. Kesalahan ini walaupun tergolong dalam al-lahnul khafi namun dapat menghilangkan ruh dari tilawatul qur'an (bacaan al-Qur'an), dan hukumnya makruh bila dilakukannya dengan sengaja dan terus menerus dalam kesalahan yang sama. Dan termasuk kesalahan di sini yang terjadi pada "ال" syamsiyah pada nun mati, contoh: (النّاس), atau nun tasydid dan mim tasydid, contoh: (إنّ)- (أمّ). Bentuk kesalahannya adalah kurang ditahannya suara pada saat membaca "ال" syamsiyah pada nun mati atau nun tasydid dan mim tasydid.
c. Kesalahan pada hurufus sakinah (huruf-huruf sukun) atau tidak berharakat a-i-u dan qalqalah. Bentuk kesalahan yang satu ini boleh dibilang cukup fatal dan tergolong dalam al-lahnul jali yang haram hukumnya bila disengaja dan terus-menerus dalam kesalahan yang sama. Contoh: Pertama, kesalahan melafalkan hurufus sakinah (huruf-huruf sukun) (أنعمت). Bentuk kesalahannya adalah bacaan "an'amta" dibaca "ana'amta". Dan masih banyak lagi contoh yang lain. Kedua, qalqalah secara umum yang terdiri dari (ب ج د ط ق) dan syiddatul qalqalah (terdapat tasydid pada huruf qalqalah), contoh qalqalah: (قل هو الله أحد), dal adalah huruf qalqalah. Bentuk kesalahannya adalah tidak dipantulkan pada saat dibaca sukun (tidak berharakat a-i-u) maupun waqaf (berhenti) tepat pada huruf qalqalah tersebut seperti huruf dal di atas. Adapun contoh syiddatul qalqalah (terdapat tasydid pada huruf qalqalah) adalah: (تبت يدى أبي لهب وتبّ) pada kata "watabba" terdapat tasydid yang seharusnya ditahan sesaat sebelum di pantulkan qalqalahnya, adapun bentuk kesalahannya adalah dibaca seperti qalqalah biasa bahkan lebih parah lagi adalah tidak adanya qalqalah atau dibaca pantul seperti bacaan "watab".
d. Kesalahan pada mad (bacaan panjang). Bentuk kesalahan ini tergolong dalam dua lahn sekaligus berdasarkan pembagian mad (bacaan panjang), bacaan mad (bacaan panjang) terbagi menjadi dua. Pertama mad ashli atau thabi'i (bacaan panjang yang asli), contoh: (بسم الله الرحمن الرحيم) lafadz "Allaah", "al-Rahmaan", dan "al-Rahiim" cukup dibaca dua harakat. Bentuk kesalahannya adalah kurang dari dua harakat atau lebih dari dua harakat, agar terhindar dari kesalahan ini maka caranya dengan diayun suara ketika membaca mad ashli. Kesalahan ini tergolong al-lahnul jali yang haram hukumnya bila disengaja dan terus-menerus. Adapun mad far'i (bacaan panjang yang cabang) selain mad (bacaan panjang) berikut ini yaitu: mad lazim secara umum (lihat buku tajwid) yang hukum bacaannya adalah enam harakat, mad shila qashirah yang dibaca dua harakat maupun thawilah empat harakat, mad badal yang dibaca dua harakat karena ketiga jenis mad (bacaan panjang) ini sangat dianjurkan oleh para ulama untuk dipatuhi hukum bacaannya. Adapun mad 'aridh lissukun yang boleh dibaca dua, empat, bahkan enam. Mad wajib yang dibaca empat boleh dua harakat, mad jaiz yang boleh dibaca dua, empat atau enam harakat, mad layyin (lin) yang boleh dibaca dua, empat atau enam harakat, mad 'iwadh yang seharusnya dibaca dua harakat, dan yang lainnya. Adapun bentuk kesalahannya adalah tidak konsisten dalam membaca masing-masing mad far'i (bacaan panjang yang cabang), sehingga kesalahan ini tergolong al-lahnul khafi sekalipun demikian dapat menghilangkan ruh dari tilawatul qur'an (bacan al-Qur'an), dan hukumnya makruh bila dilakukannya dengan sengaja dan teru menerus.
Penutup
Sebagai penutup kami wasiatkan kepada diri kami dan para pembaca budiman, jadikanlah al-Qur'an sebagai lentera penerang kegelapan hidup, sinarilah rumah-rumah, kos-kos-an, dan kamar-kamar kita dengan lantunan ayat-ayat al-Qur'an, karena bacaan al-Qur'an merupakan sarana paling utama dalam meneguhkan iman seseorang sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Shalih al-Munajjid dalam buku beliau yang sederhana Wasaailuts-tsabaat 'ala dinillaah.
Demikian pembahasan ini kami paparkan ke tengah para pembaca, khususnya para penuntut ilmu syar'i guna menjadi perhatian bersama. Semoga Allah subhanahu wata'ala memudahkan kita untuk terus dapat membaguskan bacaan al-Qur'an kita dengan cara talaqqi (belajar langsung dengan ustadz) yang mumpuni, agar dapat terhindar dari bentuk-bentuk kesalahan di atas baik yang tergolong dalam al-lahnul khafi dan terlebih lagi adalah al-lahnul jali, wallahu ta'ala a'lam
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين



Agar Puasa Lebih Bermanfaat Bagi Tubuh 

Berikut adalah tulisan dari Akh Hasbi Nur PW salah satu dari santri Unggulan Pondok Mahasiswa Al-Madinah berkenaan dengan puasa. Semoga dapat bermanfaat.
Dalam Sebuah hadist yang agung yang terdapat dalam musnad Ahmad bin Hambal, yang dishahihkan oleh ahmad Syakir dalam Mustadrak Al-Hakim. Dari Abdullah bin Amru radiyyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat kepada seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata: Wahai,” Wahai Rabb, saya telah mencegahnya dari makan dan minum serta syahwatnya di siang hari, maka berikanlah syafaatku kepadanya.” Al-Qur’an berkata,”Saya telah menahannya tidur di malam hari maka berikanlah syafaatku kepadanya.” Maka keduanyapun memberikan syafaat.”

Dari hadist tersebut bagaimana puasa dan Al-Qur’an yang setiap hari kita baca dapat memberikan syafaat kepada seorang hamba kelak pada hari kiamat.
Hadist tersebut juga menggambarkan antara Al-Qur’an dan puasa terdapat hubungan yang sangat kuat. Diantara salah satu hikmah yang paling agung puasa pada siang hari adalah untuk mempersiapkan diri untuk mentadabburi Al-Qur’an yaitu merenungi, mencermati ayat-ayat Al-Qur’an untuk tujuan dipahami, diketahui makna-maknanya, hikmah-hikmah serta maksudnya. Kemudian dari ayat-ayat yang telah ditadabburi tersebut digunakan untuk shalat dimalam harinya. Tetapi sebagian kaum muslimin melewatkan hal semacam ini ketika mereka berlebih-lebihan dalam makan dan minum di saat berbuka puasa dan makan malam. Hal ini justru tidak baik bagi tubuh. Padahal Allah subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat  Al Baqarah :184
أَيَّامً۬ا مَّعۡدُودَٲتٍ۬‌ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ فَعِدَّةٌ۬ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَ‌ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُ ۥ فِدۡيَةٌ۬ طَعَامُ مِسۡكِينٍ۬‌ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرً۬ا فَهُوَ خَيۡرٌ۬ لَّهُ ۥ‌ۚ وَأَن تَصُومُواْ خَيۡرٌ۬ لَّڪُمۡ‌ۖ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Artinya : “Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”

Timbul pertanyaan bagaimana agar puasa bermanfaat bagi tubuh kita ?
Rasulullah telah memberikan petunjuk tentang praktek agar puasa dapat mendatangkan manfaat bagi tubuh yaitu apabila kita mempraktekkan hadist Al-Miqdam bin Ma’di Karib. Ia berkata,” Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”


ماَ مَلأ ابْنُ آدم وِعاءًَ شَرًَّا مِنْ بَطْنِ، بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ لُقَيمَا تٌُ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإنْ كَانَ لامَحَالة، فَثُلُثٌُ لِطَعامِهِ وَثُلُثٌُ لِشرابِهِ وَثُلُثٌُ لِنَفَسِهِ

Artinya:”Tidaklah anak adam memenuhi tempat yang lebih jelek selain perutnya. Cukuplah baginya beberapa suapan yang bisa menguatkan tulang punggungnya. Kalau tidak bisa begitu, maka diisi sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk bernafas,” ( Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasaa’I, dan Ibnu Majah. At-Tirmidzi mengatakan,” Hadist Hasan Shahih)
Dapat dipahami dari hadist tersebut bahwa kita tidak diperbolehkan  untuk memenuhi perut kita dengan makanan atau terlalu kenyang dalam makan. Pada saat sahur atau berbuka puasa maka makan dan minum secukupnya dan tidak berlebih -lebihan. Seperti apa yang telah beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan perut kita diisi yaitu sepertiga ( 1/3) untuk makan, sepertiga ( 1/3 ) untuk minum dan (1/3) untuk bernafas.

Hadist tersebut adalah dasar  yang mencakup semua dasar-dasar kedokteran . Telah diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Masawih- ia adalah seorang dokter-ketika membaca hadist ini dalam kitab Abi Khaitsamah rahimahullah, ia berkata,” Seandainya manusia menggunakan ungkapan ( dalam hadist ) ini, niscaya mereka akan selamat dari berbagai macam penyakit dan tutuplah toko-toko obat.”

Kondisi perut yang terlalu kenyang juga dapat membuat pemiliknya menjadi kantuk sehingga menyebabkan malas dalam beribadah. Bisa jadi puasa yang sedang dikerjakan tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk menahan hawa nafsunya.

Sebagian pemuda mengatakan,” Saya telah puasa namun saya tidak mendapatkan sesuatu yang dapat menahan nafsu syahwat sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam, “Kita Jawab:“ Ya, Apabila di waktu buka engkau berusaha mengganti ( jatah makan )di waktu puasamu, satu sha’ ( dari makanan) dengan dua sha’, maka pada hakekatnya hal itu bukanlah puasa, namun lebih tepatnya memayahkan dan menyiksa tubuh! Sebab tujuan dari puasa adalah untuk menjaga tubuh secara umum dan menjaga hati secara khusus dari racun-racun makanan dan minuman. “ Inilah makna sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam “ Maka puasa tersebut adalah penahan dari nafsu syahwat.”

Dalam kitab syiar A’lam An-Nubala karya Imam Dzahabi, dapat kita lihat bagaimana Asy-Syafi’I rahimahullah pernah berkata,” saya tidak pernah merasa kenyang sejak enam belas tahun kecuali  hanya sekali itupun sambil berusaha saya buang. Sebab rasa kenyang akan membebani badan, menghilangkan kecerdasan, mendatangkan kantuk, dan melemahkan pemiliknya dari ibadah.

Bagaimana Sufyan Tsauri menulis surat kepada Utsman bin Zaidah rahimahullah,” Jika engkau ingin jasadmu baik maka sedikitkan tidur dan makan.
Apa yang mereka ungkapkan setidaknya dapat memotivasi kita untuk memperbanyak ibadah baik siang maupun malam. Terutama membaca Al-Qur’an dan mengkatamkannya pada bulan yang mulia ini. Qatadah rahimahullah selalu mengkatamkan bacaan Al-Qur’an setiap tujuh hari sekali, sedangkan pada bulan ramadhan mengkatamkannya setiap tiga hari sekali, dan pada sepuluh hari terkhir bulan Ramadhan mengkatamnya setiap hari.

Banyak sekali keutamaan-keutamaan  yang kita dapatkan dari membaca Al-Qur’an apalagi di bulan yang mulia ini. Disamping pahala yang berlipat ganda, juga terdapat keutamaan- keutamaan di surat - surat tertentu bagi siapa yang membacanya. Seperti surat Al-Fatihah, Al- Baqarah, An-Nas, Al-Falaq dsb.
Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi kekuatan  untuk menggunakan sebaik-baiknya setiap kesempatan yang ada baik siang maupun malam pada bulan Ramadhan ini untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an. Baik itu dengan membacanya, merenungi dan memahami makna-makna ayatnya serta mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari kita. Tentunya apabila kita melaksanakan ibadah puasa ini dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasululullahi Shalallahu’alaihi wa Sallam.

Khabar gembira bagi para ibu dan bapak

Oleh: M.A. Bramantya*



Wahai para ibu dan para bapak, wahai para pendidik, marilah rehat sejenak bersama kami. Marilah kita duduk melingkar, bersimpuh sejenak melemaskan penat dan meletakkan beban barang semasa. Ijinkan kami mengusap peluh kalian. Sementara kalian beristirahat, kami hendak mengabarkan kepada kalian sebuah khabar yang mulia nan menyejukkan. Simaklah penuturan kami ini, penuturan yang akan senantiasa berulang bagi kalian para pendidik yang mulia…
Kami mengetahui betapa beratnya tugas mendidik generasi perempuan di masa kini, masa yang seakan tiada menyisakan kesempatan untuk rehat bagi para pejuang pendidikan yang ikhlas. Karena dimasa ini, gelombang arus seretan kejahatan makin liar menerpa, dari depan, belakang, samping kanan dan kiri, bahkan dari atas dan dari bawah. Hari-hari selalu kita temui kasus-kasus buruk hasil ulah dan polah anak didik, tidak perlu disebut satu per satu disini, karena engkaupun juga tahu. Semoga dengan khabar baik yang hendak kami sampaikan ini menambah daya juang kita semua, memompa semangat yang mulai pudar.


Khabar baik nan menyenangkan ini datang dari lisan Kekasih Umat, Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam yang tidaklah keluar dari lisannya bersalah dari hawa nafsu, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Ketahuilah bahwa mendidik anak perempuan itu akan menjadi penghalang dari api neraka.
Diriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa ia berkata: "Ada seorang wanita masuk besama dua anak perempuannya seraya meminta diberi sesuatu. Akan tetapi aku tidak mendapatkan sesuatu untuk diberikan kecuali sebutir buah kurma. Aku berikan sebutir buah kurma tersebut kepadanya. Kemudian si ibu itu membaginya kepada kedua anaknya. Sementara ia sendiri tidak makan. Kemudian mereka keluar dan pergi. Ketika Nabi saw. Datang dan masuk kepada kami, aku beritahukan kisah ini kepadanya. Kemudian beliau berkata: “Barangsiapa yang diuji dengan mendapatkan anak peremuaan kemudian ia berbuat baik kepada mereka (dengan mendidiknya) maka anak perempuan itu akan menjadi penghalang baginya dari sentuhan api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Nyata dan terasa betapa tingginya kasih sayang ibu yang tak terhingga, menembus akal rasio yang ada. Fokus dari sabda tsb ada pada terhalangnya sang pendidik dari api neraka. Sementara dari kisah yang lain, fokus penekanan Rasulullah bertambah dengan dimasukkannya ke surga.
Diriwayatkan oleh Aisyah ra. ia berkata: “Aku kedatangan seorang ibu miskin yang membawa kedua anak perempuannya. Aku berikan kepadanya tiga butir buah kurma. Kemudian ia memberikan masing-masing dari kedua anaknya satu butir kurma dan yang satu butir lagi ia ambil untuk dimakan sendiri. Akan tetapi, ketika ia akan memakannya, kedua anaknya itu memintanya. Akhirnya satu butir kurma itu dibelah dua dan diberikan kepada mereka berdua. Kejadian itu mengagumkanku. Maka, aku ceritakan hal itu kepada Nabi saw. Dengan demikian beliau bersabda: “Allah saw. mengharuskan ibu itu masuk surga atau membebaskannya dari neraka disebabkan kasih sayangnya terhadap anak perempuannya.” (HR. Muslim)
Kejadian ini persis dengan kejadian yang dikisahkan pada hadits yang sebelumnya. Akan tetapi, pengorbanan seorang ibu dalam kejadian di hadits ini lebih nampak dan sifat itsar (memperioritaskan orang lain daripada diri sendiri)nya lebih besar, dimana ia tidak makan sedikit pun dan mendahulukan kedua anaknya. Itsar, ah sebuah terminologi yang kian lapuk dimasa ini.
Dan tahukah tempat anda kelak dimana, wahai para pendidik yang mulia? Anda akan menempati tempat yang membuat iri setiap hati yang beriman. Sebuah tempat yang hanya dimiliki oleh orang-orang istimewa. Itulah tempat yang dekat dari sisi Nabi yang mulia.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Barangsiapa mengurus dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa maka ia datang di hari kiamat bersamaku.” Beliau merapatkan jari-jemarinya. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini terdapat bisyaroh (kabar kembira) yang besar bagi orang yang dikaruniai dua anak perempuan kemudian ia merawat dan mendidiknya dengan baik, dimana ia nanti di hari kiamat masuk dalam kelompok Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, dan senantiasa menyertai beliau sebagaimana jari telunjuk dan jari tengah yang akan selalu berdampingan dan dekat ketika digenggamkan. Hal ini cukup menjadi keutamaan dan kebanggaan karena orang yang berada di sisi Rasulullah pada hari yang penuh dengan rasa bingung dan goncang hati Insya Allah akan terjamin dan aman dari kekacauan yang terjadi pada hari itu.
Dalam riwayat lain dikatakan, “Barangsiapa yang mengurus dua anak perempuan maka aku dan dia akan masuk surga seperti ini.” Beliau berisyarat dengan dua jarinya (telunjuk dan jari tengah). (HR. Tirmidzi)
Pengertian hadits ini adalah bahwa orang seperti itu akan termasuk assabiqunal-awwalun (yaitu orang-orang yang lebih dahulu) dalam masuki surga.
Sementara kekhawatiran akan teks khabar yang selalu menyebut dua anak perempuan tampak menggayuti kalbu sebagian orang. Tetapi, lagi-lagi Islam adalah syariat yang sempurna. Kesempurnaannya lebih jauh dan lebih tinggi dari apa yang kita bayangkan. Mengenai keutamaan merawat dan mendidik satu anak perempuan saja, Sang Kekasih juga telah mengabarkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. ia berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mempunyai satu anak perempuan kemudian ia tidak menguburkannya hidup-hidup, tidak menghinakannya dan tidak mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan maka Allah akan memasukannya ke dalam surga.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits yang mulia ini, Rasulullah menerangkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang ingin masuk surga, yaitu dengan berbuat ihsan terhadap anak perempuan, diantara rinciannya sebagai berikut:
  1. Merawatnya hidup dan tidak menguburkannya hidup-hidup seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.
  2. Memuliakan, memelihara dengan baik dan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang, kebanggaan dan penghormatan tanpa merendahkan ataupun menghinakan
  3. Tidak mengutamakan anak laki-laki ketimbang anak perempuan dalam memperlakukan mereka
Masih belum puas jika kami belum juga mengabarkan kepada kalian Hadits yang lain, simaklah kelanjutannya.
Diriwayatkan dari Uqbah bin Nafie ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan kemudian ia sabar atas (merawat dan mendidik) mereka serta ia memberi makan dan minum mereka dari apa-apa yang ia dapatkan maka anak-anak perempuan tersebut akan menjadi penghalang baginya dari api neraka di hari kiamat.” (HR. Ahmad)
“Barangsiapa yang menanggung dua atau tiga anak perempuan; dua atau tiga saudara perempuan hingga mereka meninggal dunia atau ia lebih dahulu meninggal dunia maka aku dan dia seperti dua ini.” (Shahih al Jami')
Beliau berisyarat dengan dua jarinya; telunjuk dan jari tengah.
Dalam riwayat lain dikatakan, “Barangsiapa yang mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan kemudian ia bertakwa kepada Allah swt. Dan menanggung keperluan mereka maka ia kan bersamaku di surga.” Beliau berisyarat dengan jari jemarinya.
Bagaimana kini perasaan anda, wahai sang murabbi (pendidik)? Resapilah khabar-khabar nubuwwah itu, hiruplah bersama setiap helaian nafas anda. Hiruplah yang panjang dan sedalam-dalamnya. Kita semua memerlukan itu untuk bersiap menghadapi amanah generasi perempuan ini.
Telah kami sampaikan khabar mulia diatas, kini bangkitlah kembali! Kita sudah berehat barang sejenak, sekarang berdirilah. Rapikan kembali pakaian kita, susun dan atur kembali bekal yang kita punyai. Bersama kita bergandengan tangan, bersama kita beratur dalam berisan, berjuang sekuat kemampuan, mengusahakan semampu yang kita bisa tahan. Mari kita tunaikan tugas mulia mendidik dan merawat generasi perempuan. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla membimbing dan menguatkan setiap langkah kita, amin.

*Mahasiswa S3 Keio University, Yokohama, Jepang.

Yokohama, 27 Desember 2009.
*sumber: Ziyaadatul khasanaat fii tarbiyatil banaat, Muhammad bin Ali al-‘Arfaj, diunduh dari islamhouse[dot]com.

Allah Ta’ala Mengharamkan Zina dan Sebab-Sebab yang Mengarah Kepadanya

Kaidah syari’at yang suci menegaskan bahwa ketika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan sebab-sebab, jalan serta wasilah yang mengarah kepadanya. Hal ini untuk mewujudkan maksud dari pengharaman sesuatu tersebut, mencegah agar tidak sampai kepadanya atau mendekatinya. Disamping menjaga agar tidak terjadi perbuatan dosa serta ke-madharat-an yang menimpa individu ataupun masyarakat.
Sekiranya Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, namun membolehkan wasilah yang mengarah ke sana, niscaya akan terjadi kontradiksi atas pengharaman tersebut. Sangat mustahil syari’at Rabb semesta alam mengandung unsur seperti itu.
Perbuatan zina adalah kekejian yang besar, sangat buruk, dan sangat berbahaya terhadap kewajiban-kewajiban agama. Oleh karenanya, pengharaman zina telah diketahui dalam agama secara pasti. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Israa: 32).
Oleh karenanya, Allah Ta’ala mengharamkan sebab-sebab yang mengarah kepada perbuatan zina seperti ikhtilath (campur baur antara laki-laki dengan perempuan, red.), perempuan yang menyerupai laki-laki maupun sebaliknya, dan hal-hal lain yang bisa menimbulkan keraguan, fitnah, dan kerusakan.
Renungkanlah rahasia agung yang terkandung dalam rahasia-rahasia dan mukjizat Al-Qur’an Al-Karim. Ketika Allah Ta’ala menyebutkan kekejian zina dan pelarangannya secara tegas pada pembukaan surat An-Nur, mulai dari awal hingga ayat ke tiga puluh tiga. Allah Ta’ala menyebutkan tiga belas wasilah untuk menanggulangi perbuatan dosa tersebut serta menjaga agar tidak menimpa masyarakat muslim yang masih menjaga nilai-nilai kesucian. Wasilah tersebut berupa amalan, ucapan, dan kemauan.
Pertama, menyucikan pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan dengan hukuman had.
Kedua, membersihkan diri dengan jalan menjauhkan pernikahan dari pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan, kecuali setelah ia bertaubat dan diketahui kebenaran taubatnya.
Kedua wasilah diatas berkaitan dengan perbuatan (amaliyah).
Ketiga, membersihkan lisan dari menuduh seseorang telah melakukan perbuatan zina. Bagi siapa saja yang menuduh seseorang telah melakukan zina namun tidak dapat mendatangkan bukti, maka baginya dikenakan hukuman qadzaf.
Keempat, membersihkan lisan suami dari menuduh istrinya telah melakukan perbuatan zina tanpa bukti. Kalau hal itu terjadi, maka ia dikenai hukuman li’an.
Kelima, membersihkan jiwa dan menutup hati dari prasangka buruk terhadap sesama muslim berkaitan dengan perbuatan zina.
Keenam, membersihkan kemauan dan menahannya dari menyebarkan kekejian dikalangan kaum muslimin. Sebab, dengan tersebarnya perbuatan tersebut akan melemahkan orang-orang yang mengingkarinya dan sebaliknya, akan menguatkan golongan fasiq dan orang-orang yang menyetujui tindakan tersebut. Oleh karenanya, siksaan bagi golongan ini lebih pedih dari yang lainnya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat.” (QS. An-Nur: 19).
Kesenangan menebarkan kekejian akan mengundang semua wasilah keburukan yang mengarah pada perbuatan zina tersebut, baik dengan ucapan, perbuatan, bentuk persetujuan, termasuk mendiamkannya.
Ketujuh, tindakan preventif secara umum, yaitu dengan cara membersihkan jiwa dari was-was dan bisikan jahat yang merupakan awal langkah setan yang ditiupkan ke dalam jiwa kaum mukminin agar mereka terjerumus ke dalam perbuatan dosa. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh pada mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar.” (QS. An-Nur: 21).
Kedelapan, disyari’atkannya meminta izin ketika hendak memasuki rumah orang lain agar seseorang tidak terjerumus pada melihat aurat pemilik rumah.
Kesembilan, menyucikan mata dari pandangan yang diharamkan dengan melihat wanita yang bukan mahramnya.
Kesepuluh, menyucikan mata dari pandangan yang diharamkan dengan melihat laki-laki yang bukan mahramnya.
Kesebelas, diharamkannya bagi kaum wanita untuk memperlihatkan perhiasannya kepada laki-laki yang bukan mahramnya.
Kedua belas, larangan melakukan sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat kaum laki-laki, seperti seorang wanita menghentakkan kakinya agar terdengar suara gelang kakinya sehingga menarik perhatian orang-orang yang di dalam hatinya terdapat penyakit.
Ketiga belas, perintah untuk menjaga kesucian bagi orang-orang yang tidak mampu menikah dan melakukan sebab-sebab yang dapat membantuk melaksanakan perintah tersebut.
Diantara etika hubungan pergaulan antara kaum laki-laki kepada sesama laki-laki yaitu tetap merupakan kewajiban bagi mereka untuk tetap menutup aurat.
Adapun hak wanita terhadap sesamanya yaitu menutup aurat dihadapan wanita lain dan diharamkan seorang wanita menyebutkan ciri-ciri wanita lain kepada suaminya. Sedangkan sebab terbesar yang dapat menjaga agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan zina adalah kewajiban hijab bagi kaum muslimah. Hijab tersebut berfungsi untuk menjaga mereka dan menjaga kehidupan mereka tetap berada dalam kesucian, senantiasa menjaga rasa malu, menghindari perkataan kotor, dan untuk menghindarinya dari tingkal laku yang tidak bermoral.

Sumber:
Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid, Menjaga Kehormatan Muslimah: Daar An-Naba’

Beberapa Tips Menghafal Al-Quran 

(penyempurnaan kajian “nyalakan semangatmu dengan Al-qur’an” ahad, 19 juli 2009)
oleh Ustadz Rizki Narendra

Berikut adalah artikel berkenaan dengan tips-tips tentang bagaimana cara mudah dalam menghafal Al-Qur'an yang ditulis oleh Ustadz Rizki Narendra. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca belajarislam.com yang sedang menghafal maupun yang akan menghafal Al-Qur'an. Ustadz Rizki Narendra adalah seorang Hafidz lulusan Ma'had Arrayah Sukabumi. Berikut adalah tips-tipsnya



  1. Menghafal al-quran dengan secara tadarruj (bertahap).
  2. Manghafal al-qur’an al-karim perlu dilakukan secara bertahap, artinya memulai dari ayat yang sedikit dan juga mudah, bukan memulai dengan yang banyak kemudian tiba-tiba berhanti di tengah jalan. Perumpamaan Otak manusia seperti cangkir. Kalau saja seember air di tuangkan sekaligus kedalam cangkir maka yang terjadi bukannya air tersebut masuk tetapi malah tumpah kemana-mana, dan hasilnya air yang tersisa dalamnya hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Seperti halnya sebuah cangkir otak manusia ketika dijejali sekaligus dengan file-file hafalan yang terjadi adalah rasa malas dan jenuh dalam menghafal dan akhirnya berujung paa meninggalkan hafalan sama sekali. Mulailah hafalan dari surat yang antum anggap mudah, mulailah sedikit-sedikit namun istiqomah dan berkesinambungan, kalau misalnya otak kita hanya dapat menghafal satu atau setengah halaman perhari maka biasakanlah untuk istiqomah dalam hal tersebut selama satu atau dua bulan, Tujuannya adalah membiasakan otak untuk menerima memory hafalan sebanyak setengah atau satu halaman perhari. Nah..! ketika otak kita sudah terbiasa dengan hal tersebut maka dengan sendirinya dia akan meminta tambahan. Pernahkah kita memperhatikan bagaimana atlet angkat besi berlatih..? seorang yang ingin menjadi atlet angkat besi dia akan memulai latihannya dengan beban yang ringan selama beberapa waktu, hal tersebut bertujuan untuk membiasakan otot-ototnya,ketika suda terbiasa secara otomatis dia akan menambah beban yang lebih besar lagi. Sepeti itulah hafalan al-quran, ketika otak sudahterbiasa dengan hafalan yang sedikit denagan sendirinya dia akan meminta tambahan hafalan. Dan salah satu faidah dari tadaruj ini adalah menjaga keselamatan hafalan dari bercampur baurnya ayat mutasyabihatnya, karena sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya di dalam alqur’an terdapat banyak sekali ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang mirip).
  3. Muraja’ah (mengulang-ulang hafalan).
  4. Muraja’ah merupakan kunci pokok dalam menghafal, hafalan tanpa muroja’ah adalah Nol. Rasulullah salallahu ‘alaihi wassallam brsebda:”sesungguhnya perumpamaan penghafal al-quran adalah seperti pemilik seekor unta yang ditambat, jika dia mengikatnya maka dia akan menguasainya, dan jika dia melepaskannya maka unta itu akan pergi.” (HR. Bukhori dan Muslim). Ketahuilah bahwa ayat yang paling sulit dihafal, ketika kita berhasil menguasainya akan menjadi ayat yang paling melekat di dalam ingatan, hal itu dikarenakan kita harus mengulangnya berkali-kali dan mengeluarkan energy yang lebih besar untuk menghafalnya, oleh karena itu janganlah kita mudah menyerah ketika kita menemukan kesulitan dalam menguasai sebuah surat. Suatu hari Al-Imam Ibnu Hibban sedang membaca buku dengan tujuan untuk menghafal sebuah buku, maka dia terus menerus membacanya dan mengulanginya dengan suara keras. Dan di rumah tersebut ada seorang nenek, sedang Al-Imam Ibnu Hibban terus-menerus mengulanginya, sekali, dua kali, tiga kali, hingga sepuluh kali, sampai nenek tersebut merasa bosan mendengarnya, dan berkata: “apa yang engkau lakukan?”, al-imam menjawab: “aku ingin menghafal buku ini.”, nenek tersebut berkata: “celakalah kamu, kalau memang kamu ingin memnghafalnya maka sesungguhnya aku sendiri sudah bisa menghafalnya”. Al-imam bekata: “kalau begitu perdengarkan kepadaku”, maka nenek tersebut memperdenganrkan hafalan kitab tersebut yang baru saja dia hafal, kemudian al-imam berkata: “kalau aku tidak menghafalnya kecuali setelah aku mengulanginya sebanyak tujuh puluh kali”. Kemudian setelah satu tahun berlalu al-imam mendatangi nenek tersebut dan berkata: “wahai nenek, perdengarkanlah kepadaku hafalan kitab satu tahun yang lalu”, maka dia tidak bisa memperdengarkannya, berkata al-imam: “adapun aku tidak lupa satu sedikitpun darinya”. (kaifa tahfadzul ma’luumaat fii dzlihnika, syaikh ‘adil bin Muhammad, hal.16)
  5. Memanfaatkan umur dengan sebaik-baiknya.
  6. Memang benar bahwasanya umur yang paling sesuai untuk menghafal adalah di waktu kecil, sebagaimana pepatah mengatakan “menghafal di waktu kecil bagaikan mengukir diatas batu, sedang menghafal diwaktu tua bagaikan mengukir diatas air”, namun hal ini tidak menghalangi seseorang yang sudah berumur untuk dapat menghafal al-quran, selama dia memiliki azam dan tekad yang kuat untuk bisa menghafal al-quran, disertai dengan niat ikhlash intuk menghafalnya maka insya Allah, Allah subhanahu wata’ala akan menolongnya, Allah ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan al-qur’an itu untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Al-Qomar:22)
  7. Memanfaatkan waktu yang baik
  8. Waktu yang paling baik untuk menghafal yang baik berbeda-beda bagi setiap orang, ada yang merasa tengah hari adalah waktu yang paling sesuai untuk menghafal, sebagian lain berpendapat tengah malam, dan lain sebagainya. Hal tersebut bukan menjadi masalah, yang penting adalah ketika waktu itu tiba jangan ada sesuatu yang mengganggu kita, matikan HP, TV, jauhkan pandangan kita dari hal-hal yang dapat menarik perhatian seperti Koran, majalah, hiasan2 unik, gambar sampul buku-buku, dll. Jangan biarkan ada yang merusak konsentrasi kita. Berkaitan dengan waktu menghafal yang baik sebagian ulama memandang bahwa waktu lapar atau perut kosong lebih baik daripada waktu kenyang, dan pagi hari lebih baik dari sore hari, namun sebagaimana telah disinggung tadi bahwa hal tersebut relative bagi masing-masing individu.
  9. Pilih tempat yang baik
  10. Pilihlah tempat yang jauh dari keramaian, karena hal tersebut biasanya sangat mengganggu kelancaran menghafal. Dan tempat yang kami rekomendasikan adalah masjid, karena tempat tersebut merupakan tempat yang penuh berkah, atau juga kamar yang sepi. Dan kami sarankan untuk tidak memilih tempat yang memiliki panorama indah seperti pegunungan atau kebun bunga atau tepi pantai, karena biasanya yang terjadi adalah pemandangan seperti itu justru menarik perhatian ketika menghafal sehingga mengganggu konsentrasi, orang cenderung memilih untuk menikmati panorama tersebut dari pada menghafal al-quran, dan bahkan mungkin sebagian ada yang beralasan bahwa hal tersebut merupakan tadabbur alam, dan tadabbur itu pahalanya lebih besar dari sekedar menghafal al-quran.
  11. Mempelajari bahasa arab
  12. Proses menghafal al-quran sangat terbantu apabila seseorang memahami bahasa arab, karena dengan begitu dia mengerti tentang apa yang dia baca, dan juga bacaannya sangat membekas di hati dari pada yang hanya menghafal tanpa tahu memahami apa yang dia baca. Memang pemahaman bahasa arab bukan hal yang mutlak dibutuhkan untuk sekedar menghafal al-quran al-karim, namun perlu diketahui bahwa tujuan utama diturunkannya al-quran bukanlah untuk di hafal, bukan agar seseorang memindahkan huruf-hurufnya dan lafadz-lafadznya kedalam memory otak, melainkan untuk ditadaburi, dan tidak mungkin bagi seseorang untuk mentadaburi al-quran jika dia tidak memahami apa yang dia baca. Jadi kesimpulannya cepat atau lambat seorang yang sedang berusaha menghafal al-quran dituntut untuk bisa memahami bahasa arab.
  13. Menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat
  14. Nabi shollallahu ‘alaihi wassallam bersabda: “diantara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah dengan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk dirinya” (HR. At-tirmidzi dan Ibnu Majah). Dan cukuplah hadis tersebut diatas sebagai peringatan bagi kita untuk menjauhi hal-hal yang tidak mendatangkan manfaat, seperti duduk-duduk dipinggir jalan, main game on-line, Play stasion, berlama-lama chating untuk hal-hal sepele, baca buku komik, dan lain-lain. Ketahuilah bahwasanya hal-hal semacam itu hanya akan mengganggu pikiran kita, membuat penuh memory otak kita dengan persoalan yang tidak berguna, dan mejadikan kita banyak melamun ketika menghafal atau muroja’ah. Biasanya akan terlintas pikiran-pikiran yang berkaitan dengan hal-hal tersebut, seperti: “wah, coba tadi waktu lagi main PS aku pake teknik ini, pasti rajanya bakal kalah telak..!” atau ”gimana ya, cara memecahkan teka-teki di game tadi..?” dan pikiran-pikiran serupa lainnya yang membuyarkan konsentrasi.
  15. Menumbuhkan semangat kompetisi bersama teman-teman
  16. Carilah teman yang memiliki semangat yang sama seperti kita, kemudian dekati dia, jadikan dia teman untuk muroja’ah, kemudian tumbuhkan semangat berkompetisi agar saling terpacu untuk menjadi yang terbaik, dan semangat semacam inilah yang tumbuh dikalangan para sahabat, mereka berusaha untuk saling mendahului dalam kebaikan sebagai implementasi dari firman Allah ta’ala: “maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan” (al-maidah: 48).
  17. Sabar dalam menghadapi tekanan mental
  18. Seseorang yang baru memulai proses menghafal biasanya akan menghadapi tekanan mental. Dan biasanya hal ini timbul karena merasa kesulitan untuk menghafal ayat-ayat tertentu sulit, atau karena mudahnya ayat-ayat yang dia hafal lenyap dari memorinya, atau juga Karena banyaknya ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang mirip) dan susah untuk dibedakan, sehingga tidak sedikit dari mereka yang pada mulanya berazam untuk menghafal al-quran tiba-tiba saja patah semangat dan akhirnya berhenti. Ketahuilah bahwasanya jalan menuju surga itu penuh dengan duri, dan orang-orang pilihan Allah adalah mereka yang mampu menghadapi cobaan semacam ini. Ketika seseorang mengalami hal seperti ini maka yang perlu dia lakukan :
  • Jangan menambah hafalan untuk sementara, cukup lakukan muroja’ah dari hafalan-hafalan yang sebelumnya. Atau kalau memang tidak bisa memuroja’ah Karena pikiran terlalu penat cukup dengan membacanya saja, tetapi jangan sampai meninggalkan al-quran secara total.
  • baca dan tadabburi tafsir dari ayat-ayat yang telah dihafal atau yang ingin dihafal agar kita mengerti makna dari ayat-ayat tersebut sehingga timbul rasa cinta untuk menghafalnya, sebagaimana kata pepatah: “tak kenal maka tak sayang”.
  • Salah satu cara untuk mengembalikan semangat adalah dengan membaca kisah-kisah orang-orang pilihan seperti kisah para mujahidin pada zaman dahulu, ulama, raja-raja, dan lain-lain. tetapi jangan membaca buku yang tidak bermanfaat seperti majalah gossip, komik-komik, dan yang sejenisnya karena bacaan-bacaan seperti itu bukannya menambah semangat tetapi justru melalaikan, dan mengajak kita untuk berkhayal.
  • Dengarkan bacaan al-quran dari orang-orang yang dikaruniai suara yang merdu, baik itu melalui kaset murotal atau sesame teman.
  • Ketahuilah bahwa ayat yang paling sulit dihafal ketika kita berhasil menguasainya akan menjadi ayat yang paling sulit untuk hilang dari ingatan,karena dia akan mengeluarkan usaha yang sangat keras, begitu pula sebaliknya, ayat yang mudah untuk dihafal biasanya akan mudah hilang (orang bilang “easy come easy go”).
  • Lakukan sedikit olahraga.
  • Setelah pulih lanjutkan kembali hafalan.
  • Menjauhi maksiat
  • Tidak diragukan lagi bahwasanya maksiat adalah salah satu hal yang menghambat hafalan, adh-dhohhak berkata: “kami tidak mengetahui seorangpun yang menghafal al-quran kemudian lupa kecuali karena dosa” kemudian beliau membaca firman Allah ta’ala: “Dan apa saja musibah yang menimpamu maka adalah disebabkan karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kamu). (QS. Asy-syuuro: 30).

Demikian sedikit tips untuk menghafal al-qquran, semoga bermanfaat, dan selamat menghafal, semoga Allah ta’ala memberi taufik. Wallahu a’lam.

Sang Lautan Ilmu, Ibnu Abbas

Ibnu Abbas adalah Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf Al-Quraisyi, putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibunya bernama Ummu Fadhl Lubanah binti Al-Harits Al-Hilaliah. Ia dilahirkan ketika Bani Hasyim berada di Syi’ib, tiga atau lima tahun sebelum Hijriah, namun pendapat pertama lebih kuat.
Abdullah bin Abbas menunaikan ibadah haji pada tahun Utsman bin Affan terbunuh. Ketika terjadi perang Shiffin, ia berada di Al-Maisarah, kemudian diangkat menjadi gubernur Basrah dan selanjutnya menetap disana sampai ketika Ali radhiyallhu ‘anhu terbunuh. Kemudian ia mengangkat Abdullah bin Harits sebagai penggantinya, gubernur Basrah. Kemudian Abdullah bin Abbas kembali ke Hijaz. Ia sendiri wafat di Thaif pada 65 Hijriah. Sedangkan pendapat lain menyatakan pada tahun 67 atau 68 Hijriah. Namun pendapat terakhir inilah yang dianggap sebagai pendapat paling shahih oleh para jumhur ulama. Al-Waqidi menerangkan tidak ada selisih pendapat di antara para imam bahwa Ibnu Abbas dilahirkan di Syi’ib ketika kaum Quraisy memboikot Bani Hasyim, dan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, ia baru berusia tiga belas tahun.

Posisi dan Keilmuannya
Ibnu Abbas dikenal dengan gelar Turjuman Al-Qur’an (penafsir Al-Qur’an), Habrul Ummah (guru umat), dan Ra’isul mufassirin (pemimpin para mufassir). Al-Baihaqi dalam Ad-Dala’il meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, “Penafsir Al-Qur’an terbaik adalah Ibnu Abbas.” Abu Nu’aim meriwayatkan keterangan dari Mujahid bahwa Ibnu Abbas dijuluki dengan Al-Bahr (lautan) karena keluasan ilmu yang dimilikinya. Ibnu Sa’ad meriwayatkan pula dengan sanad shahih dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari, “Ketika Zaid bin Tsabit wafat, Abu Hurairah berkata, ‘Orang paling pandai umat ini telah wafat dan semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.’”
Dalam usia muda, Ibnu Abbas telah mendapat tempat yang istimewa dikalangan para sahabat senior mengingat ilmu dan ketajaman pemahamannya. Bukhari, dari jalur sanad Sa’id bin Jubair meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia menceritakan, “Umar mengikutsertakan aku ke dalam kelompok para tokoh senior Badar. Nampaknya sebagian mereka merasa kurang suka , lalu berkata, ‘Mengapa anak ini diikutsertakan ke dalam kelompok kami, padahal kami pun memiliki anak-anak yang sepadan dengannya?’ Umar menjawab, ‘Ia memang seperti yang kalian ketahui.’ Pada suatu hari Umar memanggil mereka dan mengajak aku bergabung dengan mereka. Saya yakin, Umar memanggilku semata-mata hanya untuk memamerkan saya dihadapan mereka. Ia berkata, ‘Bagaimana pendapat tuan-tuan mengenai firman Allah Ta’ala, ‘Apabila pertolongan dan kemenangan Allah telah tiba (An-Nasr: 1).’ Sebagian mereka menjawab, ‘Kita diperintah untuk memuji Allah dan memohon ampunan-Nya Ia memberi kita pertolongan dan kemenangan.’ Sedang yang lain diam, tidak berkata apapun. Lalu Umar berkata kepadaku, ‘Begitukan pendapatmu hai Ibnu Abbas?’ ‘Tidak,’ jawabku. ‘Lalu bagaimana menurutmu?’ tanyanya lebih lanjut. Aku pun menjawab, ‘Ayat itu adalah sebagai penanda tentang ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang Allah informasikan kepadanya, ‘Apabila pertolongan dan kemenangan dari Allah telah datang.’ Dan itu sebagai pertanda ajalmu, wahai Muhammad. ‘Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha penerima taubat.’ Umar pun berkata, ‘Aku tidak mengetahui maksud ayat itu kecuali apa yang kamu katakan.’”
Corak Tafsir Ibnu Abbas
Riwayat dari Ibnu Abbas mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya dan apa yang dinukil darinya itu telah dihimpun dalam sebuah kitab tafsir ringkas yang kurang sistematis yang tajuknya Tafsir Ibnu Abbas. Di dalamnya terdapat berbagai macam riwayat dan sanad. Tetapi sanad yang terbaik adalah yang melalui jalur Ali bin Thalhah Al-Hasyim, dari Ibnu Abbas. Sanad ini menjadi pedoman Bukhari dalam kitab Shahihnya. Sedangkan sanad yang cukup baik, dari jalur Qais bin Muslim Al-Kufi, dari Atha’ bin Sa’ib.
Di dalam kitab-kitab tafsir besar yang disandarkan kepada Ibnu Abbas terdapat kerancuan sanad. Sanad paling rancu dan lemah yaitu sanad melalui jalur Al-Kalbi dari Abu Shalih. Al-Kalbi sendiri adalah Abu Nashr Muhammad bin As-Sa’I (wafat 146 H). Jika sanad ini digabungkan dengan riwayat Muhammad bin Marwan As-Suddi As-Shaghir, maka akan menjadi sebagai silsilah Al-Kadzib (mata rantai kebohongan). Demikian juga sanad Muqatil bin Sulaiman bi Bisyr Al-Azdi. Hanya saja Al-Kalbi lebih baik darinya, karena Muqatil terikat dengan berbagai madzhab atau paham yang kurang baik.
Sementara itu sanad Adh-Dhahak bin Muzahim Al-Kufi dari Ibnu Abbas sifatnya munqathi’ (terputus), karena Adh-Dhahak tidak berjumpa langsung dengan Ibnu Abbas. Apabila digabungkan kepadanya riwayat Bisyr bin Imarah, maka riwayat ini tetap lemah karena Bisyr memang lemah. Dan jika sanad itu melalu riwayat Juwaibir dari Adh-Dhahak, maka riwayat tersebut sangat lemah karena Juwaibir sangat lemah dan riwayatnya ditinggalkan ulama.
Sanad melalui Al-‘Aufi dan seterusnya dari Ibnu Abbas banyak dipergunakan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim, padahal Ibnu ‘Aufi tersebut seorang yang lemah meskipun lemahnya tidak keterlaluan dan terkadang dinilai hasan oleh At-Tirmidzi.
Dengan penjelasan tersebut dapatlah kiranya pembaca menyelidiki jalur periwayatan Ibnu Abbas, dan mengetahui mana jalur yang cukup baik dan diterima, serta mana jalur yang lemah atau ditinggalkan sebab tidak setiap yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas merupakan sanad yang pasti atau shahih.

Sumber:
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an: Pustaka Al-Kautsar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar